Sejarah Jaranan Sebagai Tradisi yang Masih Dilestarikan di Kabupaten Malang
Foto by https://www.goodnewsfromindonesia.id/2017/12/14/jaranan-sejarah-dan-keunikannya
Jaranan, Kuda Lumping, atau Jaranan Kepang adalah tarian rakyat yang melibatkan penunggang kuda (jaran) dengan mainan yang terbuat dari bilahan bambu yang dirangkai sedemikian rupa sehingga dijepit di antara dua kaki penarinya. Kuda-kuda ini diberi aksesoris dan diwarnai agar terlihat seperti kuda asli. Alat musiknya sederhana, terutama kenong dan terompet.
Pada awalnya, Jaran Kepang tidak dianggap sebagai seni pertunjukan atau kesenian karena istilah "kesenian" belum dikenal pada masa itu. Jaran Kepang adalah bagian dari ritual untuk menolak bala, mengatasi musibah, meminta kesuburan pada lahan pertanian, mengharapkan keberhasilan panen, dan menjaga masyarakat aman. Pada zaman kuno, orang percaya bahwa roh nenek moyang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan, penyakit, bencana alam, dan lainnya. Setiap bencana, malapetaka, atau kesulitan yang dihadapi manusia dihubungkan dengan roh nenek moyang itu seiring berjalannya waktu dan disusun menjadi rangkaian cerita yang berkembang menjadi mitos yang dipercaya oleh masyarakat. Kemudian dilakukan upacara, atau ritual, untuk mencegah musibah terulang. Kemudian, peristiwa yang berulang menjadi berbagai simbol yang digunakan dalam kegiatan ritual.
Kata "kepang" diduga berasal dari kepung. Dalam bahasa Jawa Kuna, kata "kêpang" bersinonim dengan "kêpung", yang berarti "mengepung" (Zoetmuder, 1995: 491). Dengan kata lain, tarian yang dimainkan menyerupai pengepungan oleh sekelompok prajurit berkuda. Mereka kepung binatang buas, seperti babi hutan (dikenal sebagai celengan), harimau (dikenal sebagai macanan atau kucingan), dan ular besar (dikenal sebagai barongan). Arti istilah ini mengingatkan pada kebiasaan rampokan, seperti yang terlihat dalam "rampokan macan", yang merupakan pengepungan sekelompok orang oleh macan atau harimau.
Dalam versi lain, Jaran Kepang berasal dari latihan perang yang disamarkan untuk pasukan Diponegoro. Ada juga pendapat yang mengaitkannya dengan sejarah penjajahan Belanda. Pada masa itu, rakyat biasa tidak boleh memiliki atau memelihara kuda, dan hanya raja dan bangsawan yang berhak melakukannya. Tidak masuk akal bagi rakyat untuk menunggang kuda karena kuda lebih dihormati daripada penunggangnya. Karena rakyat kecil dilarang menunggang kuda sungguhan, seni Jaranan kemudian dianggap sebagai bentuk perlawanan.
Selama pergelaran, trance atau kesurupan adalah hal yang sering terjadi. Dalam kebanyakan kasus, kesurupan muncul setelah formasi tarian penunggang kuda, yang pada awalnya lembut dan kemudian berubah menjadi lebih liar sesuai dengan irama musik yang diiringi. Perubahan ini biasanya dimulai dengan suara seperti "pecut" atau cemeti meledak-ledak di udara, dan pada saat ini, pemain biasanya tidak lagi menari dalam formasi kelompok. Masing-masing akan menari sebebas mungkin sambil diiringi tabuhan gending dan lagu. Aroma kemenyan yang menyegarkan semakin membuat suasana menjadi lebih magis.
Dalam bukunya "Reog di Jawa Timur", Soenarto Timoer menyatakan bahwa penari Jaranan pada masa itu tidak menggambarkan prajurit yang menunggang kuda, tetapi sebaliknya menggambarkan kuda itu sendiri. Semua karakteristik kuda dicoba untuk digambarkan serealistis mungkin, seperti menyepak singkur, lari, nyirig, bahkan sampai penari makan rumput dan dhedak saat dalam trance.
Ini menunjukkan bahwa penari Jaranan telah "menjelma" sebagai kuda atau jaran dalam keadaan trance tersebut. Namun, sebelum proses ndadi, penari seolah-olah berperan sebagai tentara yang gagah perkasa yang menunggang kuda dengan cemeti. Jadi, dalam situasi ini, dapat dianggap separuh-separuh, yaitu gerak kaki penari meniru gerak seekor kuda, seperti nyirig, sepak singkur, dan sebagainya, sementara gerak badan, tangan, dan kepala penari tetap menggambarkan seorang prajurit yang menunggang kudanya.
Setelah mempertimbangkan berbagai komentar di atas, dapat disimpulkan bahwa Jaranan saat ini termasuk dalam tiga genre yang berbeda tetapi terjadi pada satu waktu dan tempat yang sama. Pertama, Jaranan sebagai ritual kesuburan dan penolakan balak dari Totemisme prasejarah masih dilakukan di beberapa tempat, meskipun frekuensinya semakin berkurang.
Kedua, Jaranan adalah pertunjukan rakyat yang dimainkan di lapangan terbuka. Ciri khasnya adalah adegan kesurupan atau ndadi (trance), yang sangat umum di berbagai tempat dan terus berkembang hingga saat ini. Jenis pertunjukan ini diperkirakan muncul sekitar abad 12.
Ketiga, Jaranan adalah tarian bebas yang dimainkan di panggung prosenium tanpa adegan trance dan semata-mata sebagai gaya tari modern.
Komentar
Posting Komentar